Friday, March 21, 2014

Perbedaan Pendapat Hanya Menyangkut Esensi Makna Bid'ah

Imam Syafi'i berkata, "Al-Muhdatsat (amalan baru) itu mencakup dua hal. Pertama, yang berlawanan dengan Al-Quran dan hadits, atsar shahabat atau ijmak ulama, maka hal ini adalah bid'ah yang sesat. Kedua, kebaikan yang tidak bertentangan sedikit pun dengan itu semua, maka hal ini tidak termasuk yang tercela."

Al 'Iz bin Abdus Salam rahimahullah membagi bid'ah menjadi lima bagian. Beliau berkata, "Bid'ah adalah perbuatan yang tidak dikerjakan pada masa Rasulullah Saw. Itu terbagi dalam bid'ah wajib, bid'ah haram, bid'ah ajuran, bid'ah makruh, dan bid'ah mubah. Cara memahami hal itu dengan mencocokkan sebuah bid'ah dengan kaidah syariat. Apabila ia masuk dalam kaidah wajib, maka jadilah ia wajib, seperti menyusun ilmu nahwu yang menjadi sarana memahami firman Allah dan sabda Rasulullah. Ini menjadi wajib karena merupakan upaya menjaga syariat. Sesuatu yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib. Sedangkan apabila ia masuk dalam kaidah selain itu, kita menghukumi sesuatu dengan kategori hukumnya; makruh, mubah, haram, atau sunah." Wallahu a'lam

Yang berpendapat sesuai dengan definisi ini adalah Ibnul 'Atsir rahimahullah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Sebuah bid'ah yang kebaikannya masih ditetapkan oleh dalil syara', maka ia masuk dalam dua kemungkinan. Pertama, ia bukanlah bid'ah dalam agama meskipun secara bahasa ia disebut bid'ah, sebagaimana kata Umar r.a., 'Sebaik-baik bid'ah adalah ini, 'tatkala mengumpulkan orang-orang dalam satu imam pada shalat Tarawih. Kedua, ini kekhusukan dari bentuk umum yang dianggap baik, sedangkan selain itu tetap pada kandungan umumnya, seperti umumnya Al-Quran dan hadits."

(dari buku ROBOHNYA DAKWAH DI TANGAN DAI karya Fathi Yakan)

No comments:

Post a Comment